Jumat, 17 September 2010
Ekonomi Untuk Rakyat
Ekonomi Indonesia sedang berada pada salah satu puncak kejayaan setelah dihajar krisis pada 2008 lalu. Indikasi-indikasi positif semester I dari perusahaan-perusahaan bursa tampaknya dapat dijadikan dasar acuan untuk kita ambil kesimpulan bahwa negara ini, secara fundamental makin baik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan akhir pekan ini dengan mencetak rekor tertinggi baru di level 3.384 Penguatan saham-saham Bakrie menjadi motor utamanya.(sumber: detik.com http://bit.ly/cCQib8)
Kacamata makro melihat bahwa situasi jadi jauh lebih baik dan kompetisi positif masih sedang berlangsung antara para pelaku usaha dan pasar. Istilah orang investasi, untuk jangka panjang, sekarang saat yang tepat untuk kita buy. Jauh ke depan, harapan-harapan baik itu masih ada.
Akan tetapi, ada hal-hal lain yang perlu diwaspadai oleh negara kita. Kalangan elit juga ternyata melihat indikasi positif ini. Karena mereka melihat, tentu saja seperti kalangan pengusaha lainnya, mereka melihat satu celah untuk mendapatkan keuntungan lebih. Permintaan pembuatan gedung baru di tingkat legislatif adalah "gejala" dari kemampuan mereka untuk dapat menancapkan kuku lebih kuat lagi dalam melakukan kebijakan yang sebenernya tidak bijak.
Singkatnya adalah, hampir semua kalangan dapat melihat meningkatnya perekonomian Indonesia. Ini adalah peran serta yang tidak berdiri sendiri, karena faktor pendukungnya memang banyak, selain peran serta kesadaran masyarakat untuk mempercayai kabinet melakukan kinerjanya sampai 2014 nanti. Kabinet yang saat ini sedang panas-panasnya digunjingkan orang karena beberapa leadernya mendapatkan rapor merah. Kabinet yang para pemangku kepentingannya mesti selalu waspada, mawas diri, dapat bekerja dengan baik disamping itu harus bisa dengan konsisten "melayani" kepentingan-kepentingan rekan, klien (baca: publik), wartawan-wartawan "nakal" sampai atasannya.
Mungkin atas dasar ini, kemudian negara kita berani memutuskan untuk terus melakukan pinjaman dana keluar negeri. Praktis, hutang negara kita bertambah. Suatu hal lain yang selalu dikecam oleh banyak pihak bahkan dari internal pemerintahan negara ini sendiri. Istilah kata, negeri ini memiliki banyak sekali faktor yang bisa membuat kita jauh-jauh-jauh lebih kaya dari negara manapun di dunia.
Meski wacana peminjaman hutang itu baik karena digunakan untuk mengembangkan infrastruktur dalam negeri dalam rangka peningkatan kesejahteraan negeri ini sehingga nanti nya dapat bergantian membayar hutang, tetap saja resistensi akan selalu muncul. Ketimbang selalu berhutang, akan lebih baik jikalau meningkatkan sinergisitas antara pusat dan daerah untuk mengembangkan potensi alamnya.
Pemimpin harus galak dalam menyikapi hal-hal yang sangat bersinggungan dan SARA seperti yang terjadi baru-baru ini. Konflik agamais seperti itu bukannya tidak mungkin dapat muncul menjadi sebuah perang saudara kecil-kecilan yang dapat menurunkan pendapatan negeri karena menjauhkan para investor untuk menanamkan dananya di negeri ini.
Paralel dengan itu, kesadaran masyarakat juga sebenarnya memegang peranan yang jauh lebih penting dalam melangsungkan kehidupan bernegara yang damai. Peran pemerintah jadi sangat tidak berarti dan tidak vital apabila lebih dari 250 juta warganya adalah warga yang mementingkan egoisme, kulturalisme, individualisme, agamaismenya semata.
Tidak dapat ditampik bahwa sikap-sikap seperti itu terjadi, karena pertumbuhan ekonomi memang BELUM mencapai tingkat mikro seperti yang diharapkan. Dampak positif pertumbuhan perekonomian belum dirasakan oleh mereka masyarakat yang benar-benar kecil meskipun indikator menunjukkan telah bertambahnya jumlah masyarakat kaya (baca: OKB) di negara kita.
Beberapa menilai pemerintah kurang serius melakukan kerjanya menurunkan tingkat kemiskinan. Keberadaan KPK yang melakukan terobosan beberapa tahun lalu dengan menangkap banyak sekali koruptor malah membuat pihak-pihak tertentu bermain "kucing-kucingan" dengan peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi
Tapi benarkah pemerintah memang tidak serius melakukan kerjanya? Benarkah memang sampai se-menderita itu kita memerlukan uluran tangan pemerintah? Mengertikah mereka tentang mekanisme ekonomi kerakyatan?
Pertanyaannya yang selalu saya menyisir pikiran saya adalah:
1. Jika jumlah OKB bertambah, apakah berarti jumlah kemiskinan ikut berkurang atau justru bergerak paralel? (kaya bertambah, miskin juga bertambah)
2. OKB-OKB ini apakah mereka jadi kaya karena dibantu pemerintah semata?
3. Apakah regulasi pemerintah wajib untuk membuat masyarakat sejahtera se-sejahtera sejahteranya sampai keluar dari ambang batas garis kemiskinan? Ataukah hanya tools untuk membantu meningkatkan kesejahteraan?
IMHO, tanpa bermaksud membela kalangan pemerintah, tanpa bermaksu melupakan semboyan "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan", pemerintah tidak punya kewajiban yang mutlak untuk membuat masyarakatnya, secara mikro menjadi sangat-sangat sejahtera/ kaya meskipun tupoksi kementerian dan lembaga adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi justru kewajiban kitalah yang harus selalu mengeluarkan diri kita dari hal-hal yang serba kekurangan.
Happy weekend for u all.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar